Sejarah KORPRI
Jakarta (Humas MTs Negeri 8 Jakarta Barat) - Pada masa
Demokrasi Liberal (1950-1959), Suasana kurang kondusif bersamaan dengan jadi
hingar bingar pergolakan politik yang sangat agresif dengan melakukan
intervensi ke dalam birokrasi pemerintahan. Para politisi merekrut Pegawai
dalam segala tingkatan menjadi anggota partai. Pegawai dianggap strategis
karena memiliki pengaruh dalam masyarakat. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh
pegawai dengan banyaknya pegawai yang masuk parpol untuk mencapai karir
birokrasi. Agresivitas parpol ini terutama dilakukan oleh parpol yang berkuasa
dengan cara-cara kasar tanpa mengindahkan norma. Pengangkatan PNS dalam suatu
jabatan tidak lagi didasarkan kecakapan dan daftar urut kepangkatan, melainkan
berdasarkan kartu keanggotaan partai. PNS yang bukan dari partai berkuasa tidak
akan aman pada posisi jabatannya. Jabatan-jabatan penting dikuasai oleh parpol
yang berkuasa. Pejabat yang bukan dari partai berkuasa dilengserkan termasuk
pejabat-pejabat dibawahnya dan digantikan oleh orang-orang yang sehaluan
dengan. Kondisi silih berganti terjadi, seirama dengan penggantian kabinet
sehingga nasib pegawai berada dalam suasana ketidakpastian. Suasana saling
curiga, seperti api dalam sekam sehingga kerjasama dan koordinasi dalam satu
unit tugas menjadi sulit berjalan.
Akibat paling
runyam adalah terjadinya loyalitas ganda. Di satu pihak pegawai tunduk pada
atasan resminya di kantor, namun di pihak lain ia juga tunduk pada atasan di
partainya. Administrasi pemerintah cenderung tak berjalan baik karena
kepentingan partai lebih diutamakan daripada kepentingan bangsa dan negara.
Oleh karena itu tidak aneh, kalau pada saat itu sering terjadi kebocoran
rahasia negara. Pelaku pembocoran adalah Pegawai dari partai oposisi yang
mendapat tugas khusus dari partainya untuk melaporkan rencana dan kegiatan
pemerintah.
Menyadari
pembinaan pegawai yang semrawut tersebut diterbitkanlah UU Nomor 1 Tahun 1957
tentang Pokok-pokok pemerintahan Daerah. Salah satu pengaturan UU ini adalah
penetapan jenis kepegawaian tidak lagi satu (Pegawai Negeri Sipil) tapi menjadi
dua, yaitu Pegawai Pusat dan Pegawai Daerah. Namun demikian, penataan ini
ternyata belum menyelesaikan masalah, pengangkatan Pegawai Daerah terjadi tanpa
memperhatikan syarat-syarat teknis kepegawaian. Akibatnya terjadilah
kesenjangan dan perbedaan kualitas antara Pegawai Pusat dan Pegawai Daerah.
Masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1965) yang ditandai dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959. Pada era ini upaya membenahi birokrasi dicoba untuk dilakukan lagi.
Intervensi parpol terhadap PNS dihentikan melalui Peraturan Presiden Nomor 2
tahun 1959 yang menetapkan bahwa PNS golongan F tidak boleh menjadi anggota
parpol. Peraturan Presiden Nomor 2/1959 bertujuan baik karena dalam rangka
usaha memulihkan keutuhan dan kekompakan segenap PNS sebagai Aparatur Negara.
Ketentuan ini ditanggapi secara positif sehingga sebagian besar PNS
golongan F melepaskan keanggotaan partainya. Rupanya selama ini keinginan
menjadi anggota partai hanya karena dipaksa oleh keadaan atau keinginan instan
untuk lekas naik pangkat dan menduduki jabatan saja. Namun, para PNS ini
dihujat oleh bekas partainya dan dicap sebagai penghianat. Hal ini membuat
sebagian PNS yang secara formal melepaskan keanggotaan partainya tetapi
secara sembunyi-sembunyi sehari-harinya masih mengikuti kegiatan-kegiatan
partai.
Perkembangan
selanjutnya ternyata berbeda. PNS lagi-lagi jadi obyek kepentingan politik.
Kebijakan Bung Karno yang membangun ideologi Nasakom, memaksa orang memilih
apakah ia masuk golongan Nas (Nasionalis), A (Agama) atau Kom (Komunis).
Lembaga-lembaga negara cenderung di Nasakomkan. Parpol yang kemudian
menjadi tulang punggung struktur politik Nasakom, dengan berbagai strategi
mulai berlomba-lomba lagi untuk menguasai kedudukan penting dalam
birokrasi pemerintahan. Pada masa ini, lembaga-lembaga baru diciptakan tapi
tidak jelas tugas fungsinya kecuali saling beradu publikasi dan saling berrebut
tugas dan kekuasaan. Bahkan lembaga baru ini banyak mengangkat PNS baru dengan
alasan PNS lama terlampau konvensional, lamban, dan tidak dapat mengikuti
gejolak revolusi. PNS baru yang diangkat itu ternyata berasal dari anggota
parpol yang menjadi mendukung Nasakom, tanpa mengikuti teknis kepegawaian.
Akibatnya, pembagian tugas dan wewenang PNS jadi tambah ruwet.
Dalam kondisi
demikian, Partai Komunis Indonesia (PKI) berada dalam posisi yang
menguntungkan. Agresifitas partai ini luar biasa, karena mereka mampu mendekati
Bung Karno. Terlebih lagi pada penghunjung 1960, partai Masyumi dan PSI yang
pernah berkuasa, dibubarkan oleh Bung Karno karena dituduh terlibat dalam
pemberontakan. PKI waktu itu boleh dikata mampu menguasai birokrasi. Kantor
Urusan Pegawai yang mengendalikan dan menguasai bidang kepegawaian, berhasil
mereka perlemah kewenangannya. Kader PKI menyusup ke semua
organisasi-organisasi serikat pegawai/pekerja yang ada pada masing-masing
departemen dan lembaga pemerintahan. Jabatan-jabatan pimpinan serikat sekerja
dikuasai PKI, baik memimpin langsung atau menempatkan orang-orang yang dapat
mereka kendalikan. Malah tidak sedikit, anggota-anggota serikat kerja yang
masuk ormas yang ternyata tanpa disadari berada di bawah naungan bendera
PKI.
Dalam kondisi
seperti ini, masih muncul suatu upaya agar pegawai negeri netral dari kekuasaan
partai-partai yang berkuasa. Melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961
ditetapkan bahwa … Bagi suatu golongan pegawai dan/atau sesuatu
jabatan, yang karena sifat dan tugasnya memerlukan, dapat diadakan larangan
masuk suatu organisasi politik (pasal 10 ayat 3). Ketentuan tersebut
diharapkan akan diperkuat dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang
mengaturnya, tetapi disayangkan bahwa Peraturan Pemerintah yang diharapkan
membawa angin segar tersebut ternyata tidak kunjung datang.
Masa Awal Orde
Baru, Administrasi pemerintahan yang kacau mulai ditata kembali. Spoil
system bidang kepegawaian yang terjadi sejak masa demokrasi liberal
dan makin parah masa demokrasi terpimpin akan diakhiri. Pemerintah kala itu
bertekad membina PNS berdasarkan sistem karir dan sistem prestasi kerja. Selain
itu keutuhan dan kekompakan PNS diciptakan dan dikembangkan agar PNS dapat
menjadi aparatur yang mampu menyelenggarakan administrasi pemerintahan. Setelah
melalui proses panjang, keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1970.
Peraturan Pemerintah ini antara lain menegaskan bahwa .......penataan PNS
tidak boleh berdasarkan perbedaan keturunan, kelamin, agama, partai
politik, organisasi massa, golongan dan daerah.
Peraturan
Pemerintah ini juga mengatur agar semua pejabat PNS dalam melaksanakan tugasnya
tidak dibenarkan melakukan kegiatan-kegiatan politik. Bahkan, juga terdapat
suatu ketentuan bahwa PNS tidak boleh menjadi anggota organisasi politik
tertentu. Tujuan utama kebijakan ini adalah menghindarkan PNS menjadi korban
permainan politik atau korban dari luar kehendaknya sendiri.
Berangkat dari pengaturan kepegawaian yang sarat dengan nuansa politik tersebut timbul gagasan untuk mengatur PNS dalam satu wadah yang menfungsikan pegawai sebagai salah satu komponen bangsa yang mendukung tujuan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, keluarlah Keppres RI Nomor 82 Tahun 1971 tentang Korpri. Berdasarkan Kepres yang bertanggal 29 November 1971 itu, Korpri “merupakan satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI di luar kedinasan” (Pasal 2 ayat 2). Tujuan pembentukannya Korps Pegawai ini adalah agar “Pegawai Negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara RI”.
(Sumber Berita : https://korpri.go.id/sejarah-korpri)

